Halo pembaca teman buku semuanya.
Kali ini aku mau sharing lagi tentang kisah sedih aku saat dulu jadi freelancer full-time. Bener-bener full-time sampai-sampai jam tidur aja dipakai buat bekerja. Bahkan, hamil dan sampai melahirkan itu masih saja kerja gak berhenti, padahal posisi udah di rumah sakit dan tinggal menunggu digotong suster ke ruang operasi aja.
Tapi sebelum ke ceritanya, aku mau cerita dulu nih awal mula kenapa aku bisa menjadi freelancer.
Awal Mula Menjadi Freelancer
Dulu, sekitar juni tahun 2017. Kakak sepupu di Bandung tiba-tiba mengirim pesan "Neng, lagi kerja gak? Bisa terjemahin dokumen?". Aku dengan pedenya bilang "iya a, neng kerjain". Tapi gak berlangsung lama, kakak sepupuku berhenti mengirimkan pekerjaan setelah dia mentransfer gajiku. Mungkin terjemahannya tidak cocok, pikirku.
Gak berhenti disitu. Aku mulai mencari informasi di Google tentang platform yang memungkinkan aku untuk menjual jasaku, singkatnya mencari project freelance. Hasilnya, aku dapat informasi bahwa ada salah satu platform bernama Fiverr yang mewadahi para freelancer dari mancanegara. Tanpa pikir panjang, aku bergabung dengan platform tersebut.
Aku buat akun baru, lengkapi persyaratan, membuat 'Gig', dan lain sebagainya. Aku ikuti semua langkah-langkah yang ada di platform Fiverr tersebut dan gak lama dari situ, aku mendapatkan klien pertamaku. Karir freelancerku dimulai.
Freelancer Bukan Berarti Free
Dengan semangat aku bekerja, siang dan malam, bahkan sampai lupa makan. Saat itu, aku sedang hamil muda. Kalau gak salah usia kandunganku masih 4 bulan. Tapi aku gak mau menyerah. Aku terbiasa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Saat aku sadar bahwa aku tidak bekerja lagi dan tidak lagi mendapatkan gaji setiap bulannya, rasanya ada yang kurang. Kalau boleh ngomong lebay, hampa hatiku ini.
Banyak yang bilang, 'kerja freelance itu enak, lho! Kan bisa kerja sambil mengurus rumah'. Setelah aku jalani, ternyata tidak begitu. Seperti sub judul di atas 'Freelancer bukan berarti Free'.
Freelancer tetap harus bergelut dengan deadline, klien yang sulit ditolak - karena butuh duit sih lebih tepatnya, dan pekerjaan dengan tantangan yang berbeda-beda.
Waktu itu aku buka jasa seputar pekerjaan asisten atau admin. Bahasa gaya-nya, "Virtual Assistant" dan terjemahan sederhana juga. Kliennya lumayan banyak, dan rata-rata pada puas semua. Bahkan ada salah satu klien yang ingin menjadikan aku pekerja tetapnya. Lumayan kan!?
Iya, lumayan memang. Tapi aku harus mengorbankan banyak waktu, termasuk waktu makan dan istirahat.
Tolong jangan dihujat, aku tahu waktu itu aku lagi hamil tapi malah gak bisa ngatur waktu. Yang berlalu biarlah berlalu, mari kita lanjut cerita.
Baca juga : Stories : Kenapa Bikin Konten Harus Tunggu Mood Bagus Dulu?
Fenomena Dua Jam Mau Melahirkan Masih Bekerja
Setelah bergelut selama 5 bulan menjadi freelancer, perut juga sudah semakin membuncit, maka sudah waktunya si kecil keluar dan menyambut dunia.
Sebenarnya sampai saat ini aku merasa bersalah karena tidak bisa melahirkan normal. Hal ini karena aku kurang gerak dan hanya duduk sambil bekerja di depan laptop. Aku bekerja tanpa kursi kerja ya, jadi lesehan gitu. Pada akhirnya, aku harus melahirkan secara caesar.
Hari si kecil dilahirkan pun tiba. Aku bersama suami pergi ke rumah sakit untuk melakukan serangkaian proses persalinan. Yang aku pikirkan saat itu bukan merasa gugup karena sebentar lagi mau bertemu bayi, atau merasa takut karena harus berbaring di meja operasi. Tapi yang aku pikirkan saat itu adalah "duh, deadline nih yang ini. eh, ada klien baru aku terima apa aku tolak aja ya? kalau aku terima sempet gak ya aku ngerjainnya nanti". Emang ngadi-ngadi ini si Irma.
Biasanya, orang mau melahirkan itu harus persiapan dulu kan. Pakai baju pasien, lepas aksesoris, dan serangkaian tes kesehatan lainnya. Kalau aku ada ritual lain sebelum itu, ngehubungin semua klien, ngebalas pesan klien baru dan bilang ke semuanya. "It's time for me to give birth, I can't work for 2 weeks later. Thank you for your understanding." Ngelawak emang aku waktu itu!
Aku sampai dipanggil berulang kali sama suster dan seingatku hampir dimarahin juga sama suami. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaanku gak bisa ditinggal kayak gitu aja. Jadi mau gak mau diberesin dulu, setelah itu baru fokus ke persalinan.
Itulah kisah tersedih dan termiris versi aku saat jadi freelancer. Jadi ya freelancer itu gak free juga, perlu ketekunan dan pengaturan waktu yang tepat. Kalau gak ya kayak aku, mau melahirkan aja masih pegang laptop, beresin kerjaan dan ngehubungin semua klien.
Kalau kamu freelancer dan punya kisah serupa, feel free buat share di kolom komentar ya.
Baca juga : Stories : Kenapa Nulis Di Blog?
0 Komentar